Bandung, 02 Maret 2020- Kira-kira awal tahun 90-an, ketika kelas 2 SD, saya punya seorang sahabat yang merupakan seorang anak juragan kerupuk dengan pabrik yang cukup besar kalau untuk ukuran industri rumahan. Saya seringkali mampir sepulang sekolah, terkadang sekadar main bulu tangkis, sepakbola, atau petak umpet di tempat penjemuran kerupuknya. Misi lain datang ke rumah teman saya ini, ya pasti ingin makan kerupuk gratis. Biasanya, ada saja kerupuk yang tidak layak dijual dan akhirnya bisa dibawa pulang ke rumah. Saya juga sering melihat-lihat kecekatan dan kelihaian para pekerja yang saya ketahui adalah para tetangga di sekitar rumah kawan saya. Selang beberapa waktu, saya dapati bahwa di pabrik itu ada sebuah mesin agak besar yang bisa menghasilkan kerupuk lebih cepat daripada tangan para pekerja. Ternyata, pabrik kawan saya telah memakai mesin pembuat kerupuk untuk produksinya. Perlahan, dari satu buah mesin menjadi sekitar 5-6 buah mesin. Perlahan pula, saya dapati para pekerja yang biasanya berseliweran ketika saya bermain, satu persatu tidak ada. Ke mana mereka? Batin saya saat itu. Berkurangnya para pekerja tidak berbanding lurus dengan kosongnya tempat menjemur kerupuk. Tempat tersebut menjadi jarang sekali kosong, selalu saja ada kerupuk yang dijemur di sana. Ah, hal inilah yang membuat saya ingat bahwa sejak itu sulit sekali untuk bermain bersama kawan saya di lokasi favorit tersebut.
Ingatan saya terhadap kisah itu tergali kembali ketika duduk di bangku SMA. Guru pelajaran Sejarah yang saya senangi sedang menjelaskan bahwa abad awal ke-19 di Inggris terjadi revolusi industri, perubahan besar dan pesat ini ditandai dengan penemuan mesin uap yang kemudian menjadi stimulus penemuan mesin berikutnya untuk mempermudah dan mempercepat produksi dalam bidang industri. Guru Sejarah saya menjelaskan dengan lugas bahwa dunia pada saat itu mengalami perubahan pola produksi karena di saat itu tenaga manusia mulai dibantu mesin dalam melakukan produksi.
Cerita di dalam kelas itu membuat memori saya bermain-main dan mengurai kembali kisah pabrik kerupuk kawan saya. Oh, pastilah pola yang sama yang terjadi pada masa itu, mengganti para pekerja ke mesin pencetak kerupuk, ayah kawan saya pastinya mampu mengejar omset yang lebih tinggi karena efisiensi produksi sangat dirasakan signifikan.
Pada hakikatnya, perubahan cepat (revolusi) dari sebuah inovasi teknologi di dalam sebuah komunitas masyarakat pastilah memiliki dua sisi yang saling terkait. Dunia menjadi semakin kompleks dengan kehadiran pola industri yang semakin tinggi tingkat teknologinya. Terusiknya tenaga manusia yang digantikan oleh tenaga mesin sebenarnya telah terasa sekitar abad ke-18, yaitu ditemukannya teknologi mesin uap. Namun, fakta peradaban berbicara lain, manusia atau masyarakat secara luas selalu berhasil beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang dihasilkan. Sebab tujuan dari dihasilkannya inovasi teknologi sesungguhnya hanya sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan manusia itu sendiri.
Pada era milenial ini, revolusi industri telah masuk ke babak ke-4 yang menghasilkan kecerdasan buatan, robot yang semakin mirip manusia, blockchain, nano-technology, komputer kuantum, bioteknologi, percetakan tiga dimensi, kendaraan tanpa awak, dan yang terpenting adalah Internet of Things. Sekali lagi, hal tersebut dipelajari dan disempurnakan agar mampu menunjang kualitas hidup masyarakat dunia. Kemajuan di bidang otomasi dan kecerdasan buatan telah menimbulkan keresahan atas pengambilalihan pekerjaan manusia. Namun di balik itu, perubahan akibat perkembangan teknologi yang terjadi pada saat ini, di satu sisi telah menghilangkan beberapa jenis pekerjaan bagi manusia karena telah digantikan oleh mesin, tetapi di sisi lain telah memunculkan pekerjaan-pekerjaan baru bagi manusia.
Sisi inilah yang coba dijelaskan oleh mantan Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri, tentang proses produksi di seluruh dunia semestinya mengombinasikan tiga unsur penting, yakni manusia, mesin, dan big data. Kombinasi tersebut akan menggerakkan seluruh produksi menjadi lebih efisien, cepat, dan masif. Hal tersebut bisa terlaksana dengan baik bila pemerintah sebagai pemegang kebijakan membuat sebuah regulasi yang bisa meningkatkan sumber daya manusianya, agar mampu berjalan beriringan dengan perkembangan teknologi yang cepat saat ini.
Penelitian terbaru dari Korn Ferry, sebuah firma organizational consulting global, mengemukakan 70% para pemimpin perusahaan di Indonesia melihat masa depan tidak hanya sebagai arena pertarungan antara sumber daya manusia dan mesin. Namun justru teknologi menghadirkan nilai tambah dalam bekerja (value creator), dan sekaligus akan merangsang skill manusia sebagai tenaga ahli yang akan mengatur teknologi agar bisa tepat sasaran. Bahkan Para pemimpin perusahaan di Indonesia masih melihat pengembangan sumber daya manusia masih menjadi salah satu faktor utama dalam rencana pengembangan bisnis mereka. Hal itu terlihat dari hasil penelitian yang sama, menyebutkan bahwa 80% dari pemimpin perusahaan-perusahan di Indonesia yang menjadi, mempunyai berencana meningkatkan jumlah sumber daya manusia mereka hingga 30% pada tahun 2020 dan 38% pada tahun 2030.